SEKILAS TENTANG SEJARAH KABUPATEN SAYA

Share on :

Sejarah Kabupaten Ogan Ilir




Kabupaten Ogan Ilir merupakan Kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Ogan Komering Ilir , yang ditetapkan berdasarkan Undang-undang No. 37 tahun 2003 dan diresmikan pada tanggal 07 Januari 2004. Kabupaten Ogan Ilir mengemban tugas untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sehingga tercapai suatu pelayanan prima dalam rangka otonomi daerah yang nyata, luas,dinamis dan bertanggungjawab.
Tujuan pembentukan Kabupaten Ogan Ilir antara lain:
Meningkatkan efektifitas pendayagunaan sumber daya
Memperpendek rentang kendali pemerintahan
Mempercepat penyebaran dan hasil pemerataan hasil-hasil pembangunan, sehingga dapat memotivasi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan.

Keadaan wilayah Kabupaten Ogan Ilir yaitu bagian utara merupakan hamparan dataran rendah dan berawa yang sangat luas mulai dari Kecamatan Pemulutan sampai dengan Indralaya, sedangkan Kecamatan Tanjung Batu dan Kecamatan Muara Kuang relatif tinggi dengan ketinggian 10 meter di atas permukaan air laut.
Dengan demikian keadaan wilayah Kabupaten Ogan Ilir terdiri dari daratan mencapai 65% dan daerah rawa 35%. Kondisi daerah rawa tersebut umumnya merupakan rawa lebak yang tersebar dibeberapa Kecamatan, Sedangkan di Kecamatan Tanjung Batu daerah rawanya tidak begitu luas.UMURNYA memang belum lama. Pemerintahannya saja baru efektif berjalan sejak Januari 2004. Namun, kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Ogan Komering Ilir melalui Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2003 ini sudah diberkahi sejumlah kemudahan. Satu di antaranya adalah lokasi yang strategis.
BERJARAK hanya sekitar 30 kilometer dari Palembang, ibu kota Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel), ia berada di jalur lintas timur Sumatera yang beraspal mulus dan ramai dengan kendaraan antarkota-antarprovinsi maupun antarkabupaten di Sumsel. Yang lain, sebagian kantor dan dinas tingkat provinsi, termasuk kampus Universitas Sriwijaya, juga berada di sini.
Walaupun belum punya terminal angkutan, sarana transportasi ke dan dari ibu kota kabupaten di Indralaya relatif mudah dan banyak. Pegawai dan karyawan yang bekerja di wilayah ini-dan kebanyakan memang tinggal di Palembang-pun tak repot dalam urusan transportasi. Selain itu, sarana fisik pemerintahan, walaupun masih sementara, tampak lebih mapan. Kantor pemerintah daerah dan dinas-dinas bersatu di kompleks balai latihan kerja milik Departemen Tenaga Kerja setempat.
Melihat sarana yang ada, suasana sehari-hari, plus kedekatannya dengan Palembang, Ogan Ilir sepintas terkesan seperti "Palembang kecil". Sebagaimana kebanyakan daerah di Sumsel, kabupaten ini juga merupakan daerah pertanian. Sekitar 70 persen penduduk usia 15 tahun ke atas bekerja di sektor pertanian yang berbasis tanaman pangan dan kebun. Yang sedikit berbeda, kalau daerah lain banyak bergantung kepada warga pendatang dalam bercocok tanam sawah, di Ogan Ilir justru dijalankan oleh penduduk asli yang kebanyakan keturunan suku Ogan, Pegagan, dan Penesak.
Persawahan di sini memang agak khas, yaitu berlangsung pada lahan rawa lebak, alias tanah yang selalu berair. Umumnya, rawa lebak terbagi tiga, pematang (air agak tinggi), tengahan (sedang), dan dalam, dengan musim tanam rata-rata dua kali dan bisa diseling palawija. Dari enam kecamatan, dengan potensi sekitar 75.000 hektar, 55 persen sudah diupayakan. Jenis padi yang ditanam biasanya IR 64, 42, ciherang, dan ciliwung, sedangkan varietas lokal, yaitu pegagan, yang sangat langka, sudah jarang ditanam. Jenis ini kerap disebut padi "semeter" karena batangnya tinggi dan tidak gampang tenggelam kalau banjir.
Padi yang dihasilkan kebanyakan terpakai untuk kebutuhan sehari-hari penduduk. Tahun 2002, produksinya mencapai 127.352 ton dengan produktivitas 36 kuintal per hektar, sedangkan tahun 2003 mencapai 141.759 ton dengan produktivitas 35 kuintal per hektar. Pemulutan, Tanjung Raja, dan Inderalaya terbilang menjadi sentra padi.

Tak bisa dimungkiri, sawah merupakan andalan hidup petani. Tambahan penghasilan, seperti memelihara ikan di sungai, tenun songket, atau berkebun kecil-kecilan, pun tak terlalu besar hasilnya. Lahan yang mereka miliki umumnya warisan turun-temurun yang tak bisa diperluas.
Secara teknis, rawa lebak adalah lahan "tanggung". Ketika hujan, air terlalu banyak sehingga menyusahkan penanaman. Menjelang kemarau, air kerap berkurang berangsurangsur sehingga sering kekurangan air. Kalau pun dibangun pintu maupun pompa air, sudah terbukti tak pernah berhasil karena hanya mampu menahan air untuk sementara.
Padi memang bisa ditanam, tetapi petani selalu terjebak dalam keadaan yang tak menentu. Ini masih ditambah dengan cuaca yang dalam beberapa tahun terakhir suka tak jelas arahnya. Pemupukan pun hanya bisa dikerjakan ketika air agak dangkal, sementara pestisida tak bisa efektif karena ancaman hama tikus dan walang sangit. Tidak aneh kalau sebagian lahan (rawa lebak) ditinggalkan begitu saja sehingga menjadi lahan "liar", atau petani terpaksa "mengontrak" lahan di desa lain karena sawahnya sendiri tak bisa ditanami.
Memang ada pilihan lain, yaitu jagung dengan jenis hibrida C, P, dan BC (satu batang isi dua buah), dan sentra terbesarnya di Kecamatan Inderalaya. Dalam dua tahun terakhir, total produksi mencapai 1.760 kg (2002) dan 2.318 kg (2003) untuk luas panen 660 hektar. Hasilnya masih kecil karena belum digarap secara intensif.
Komoditas perkebunan mestinya juga bisa menjadi alternatif, namun pengelolaannya lebih didominasi swasta. Perkebunan besar swasta (PBS) terlihat pada karet dan kelapa sawit, sedangkan tebu oleh perkebunan besar negara (PBN).

Produksi karet PBS sekitar 18.000 ton per tahun. Sementara yang diusahakan rakyat (perkebunan rakyat/PR), yang banyak berada di Muara Kuang dan Tanjung Batu, hanya 13.000 ton per tahun. Tebu, yang sebagian besar berada di Tanjung Batu, dikelola oleh PG Cinta Manis dengan hasil 654.960 ton dari luas kebun 13.347 hektar.

Selain itu, ada pula lada, kapuk, kopi, aren, mente, pinang, kunyit, dan jahe yang umumnya diusahakan warga setempat. Komoditas lain yang sekarang sedang diupayakan dinas perkebunan setempat menjadi andalan adalah buah. Duku, durian, dan pisang di Tanjung Raja dan Rantau Alai, juga nenas serta jeruk di Tanjung Batu dan Muara Kuang.

Tak semuanya serba suram. Yang bisa menjadi angin segar bagi ekonomi Ogan Ilir adalah industri besar dan menengah. Terdapat sejumlah usaha di Ogan Ilir, seperti asam sulfat, gas acetylene, pakan ternak, plastik, kodok beku, perbengkelan, dan moulding. Nilai investasi dari 15 industri mencapai sekitar Rp 76 miliar. Hanya saja, kabupaten ini belum punya kawasan peruntukan industri serta perdagangan karena faktor rawa lebak di atas.

Tak kalah penting adalah industri kecil dan kerajinan yang dijalankan secara serius oleh masyarakat yang sebagian besar kegiatannya berada di Kecamatan Tanjung Batu. Untuk pangan, misalnya, terdapat usaha kerupuk (ikan), ikan asin, ikan asap (salai), chip nanas, serta penggilingan kopi bubuk. Terdapat juga usaha di bidang logam, seperti pandai besi, emas, perak, dan aluminium.

Ada pula kerajinan kain songket, kain tajung, dan kayu ukir. Dari sekian usaha, yang cukup menonjol adalah usaha rumah kayu (panggung) bongkar pasang. Dengan ukuran mulai dari 6 x 4 hingga 7 x 10 meter, berbahan kayu seperti meranti, tembesu, dan merawang, rumah bisa dijual dengan harga Rp 15 juta, Rp 20 juta, Rp 60 juta, dan Rp 75 juta! Layaknya profesional, si perajin juga menyediakan tenaga pemasang untuk pemesanan di luar kota

0 komentar on SEKILAS TENTANG SEJARAH KABUPATEN SAYA :

Post a Comment and Don't Spam!